Sudah tak sabar rasanya, menunggu weekend di akhir bulan September 2012. Pasalnya, pada list liburan bulan itu adalah bertandang ke Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Tak sabar pula rasanya hati ini, ingin melihat kawanan Orang Utan di area hutan konservasi itu. Apalagi, dari berbagai referensi di internet menyebutkan, untuk menempuh ke wilayah tersebut pun sangat mudah dari Jakarta. Hanya sekali naik pesawat kemudian dilanjutkan naik perahu kelotok.
Berlibur menikmati hewan langka di habitatnya tentu akan menjadi sesuatu yang fantastik. Sebab, selama ini mindset masyarakat kita jika berlibur pasti destinasinya pantai. Itu sebabnya, saya pun ingin mencoba sesuatu yang baru, yaitu berlibur ke kawasan Orang Utan di Kalimantan Tengah, yang telah kesohor hingga ke benua Eropa. Kawan pun banyak bercerita, jika trip menuju Tanjung Puting selalu menarik.
Akhirnya, weekend yang dinantikan pun tiba. Segepok pakaian, tiket pesawat beserta kamera dan lensa tele telah tertata rapi dalam tas ukuran besar. Tas tersebut telah dipersiapkan satu hari sebelum berangkat liburan. Persiapan seperti ini biasa saya lakukan, untuk menghindari sesuatu kealpaan atas barang bawaan. Maklum, jika hasrat berlibur telah tiba, mampu melupakan sesuatu kecil namun sangat penting.
Tepat pukul 6.05 menit, saya tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Setelah melalui proses chek-in, tepat pukul 07.00 pesawat Kalstar yang saya tumpangi pun mulai take off. Tidak kurang dari dua jam perjalanan saya dan penumpang lain pun tiba di Bandara Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Selepas dari Bandara, saya pun telah dijemput oleh Tour Guide setempat yang telah saya telepon dari Jakarta.
Taksi yang saya tumpangi ternyata berbarangan dengan rombongan Destination Management Organization (DMO) dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang berjumlah empat orang. Saya pun sangat senang, karena mendapat rekan baru dalam perjalanan. Sekitar setegah jam perjalanan, kami pun sampai di pelabuhan Kumai.
Menggunakan Perahu Kelotok
Pelabuhan Kumai, merupakan pintu masuk para wisatawan yang akan berkunjung ke Taman Nasional Tanjung Puting. Di pelabuhan ini, banyak sekali terdapat perahu Kelotok—perahu tradisional bermesin dengan ukuran besar, mampu menampung 4 – 6 orang wisatawan. Perahu dengan dua deck ini, dilengkapi pula kamar mandi yang bersih, dapur, dan perlengkapan tidur yang nyaman. Selain perahu Kelotok terdapat juga speedboat, namun sangat sedikit.
Yusuf, yang menjadi Tour Guide kami menjelaskan, tak perlu kuatir selama dalam perjalanan. Secara keamanan, perahu ini cukup mumpuni. Sebab, perahu ini terbuat dari kayu besi (sonokeling), dan perlengkapan keselamatan seperti jaket pelampung pun ada. “Untuk menuju ke Tanjung Puting, kita akan melalui sungai Seikonyer yang panjangnya kurang lebih 240 KM. Selain nahkoda, ada juga juru masak yang akan menemani Anda. Menu makanan dan minuman dari sang juru masak dijamin sesuai selera,” ujar Yusuf.
Dari pelabuhan Kumai menuju Tanjung Puting, dibutuhkan waktu sekitar 4 – 5 jam, dengan perahu Kelotok. Sedangkan, jika menggunakan speedboat bisa ditempuh antara 3 – 4 jam. Namun, jika menggunakan speedboat aroma liburan terasa kurang eksotik. Sebab, tidak bisa menikmati panorama hutan cagar alam yang telah dilindungi oleh WHO.
Menjelang siang, koki pun menyajikan menu ringan santap siang. Dua jenis minuman teh dan kopi, disertai dengan pisang goreng tersaji secara apik di meja makan. Sambil menyantap kundapan ringan tersebut, Yusuf menjelaskan, kawasan Taman Nasional Tanjung Puting ini masuk dalam kategori ekowisata dengan daya tarik Orang Utan. Jangan Mamalia yang memiliki 97 persen gennya mirip dengan manusia ini hampir punah. Untuk itu perlu kita jaga kelestariannya. Jika mereka punah, maka punah sudah daya tarik ekowisata yang ada di Kawasan hutan lindung ini.
Menjelng petang, kami pun tiba di Resort Ecolodge Kalimantan Tengah yang sangt rindang dan sejuk. Resort Ecolodge ini, terletak di dekat camp satu atau Tanjung Harapan. Sebagaian ada yang menginap di resort tersebut, sebagaian juga ada yang menginap di Perahu Kelotok. Bermalam di perahu kelotok pun sangat nyaman dan menakjubkan. Saya bisa merasakan alam dan udara sungai Seikonyer begitu dekat dan menyejukan.
Berjumpa “Raja” Orang Utan
Setelah fajar menjemput, perjalanan kita lanjutkan perjalanan ke Camp Dua atau Pondok Tanggui. Menu pembuka berupa panecake dan kopi sangat menyegarkan pagi itu. Selama dalam perjalanan, kami disuguhkan sebuah pemandangan yang lucu. Kami melihat, Kawanan Bekantan sedang berjemur menikmati matahari pagi, diantara batang dan dahan pohon yang besar. “Bekantan ini, biasanya selalu berkeliaran di kawasan Camp Pondok Tanggui,” terang Yusuf.
Perlu diketahui pula, Camp Pondok Tanggui, adalah salah satu Camp, yang dihuni oleh banyak sepesies Orang Utan yang mampu menerima keberadaan manusia atau para pelancong. Si Mamalia ini pun, menunjukan perangai lucu seperti tersenyum ketika wisatawan asing mulai mendatangi tempat peristirahatannya. Semua tampak normal, dan bersahabat.
Usai memasuki gapura Camp Dua, kita melanjutkan perjalanan menuju sebuah tempat atau mimbar kebesaran sang “Raja” Orang Utan dalam menikmati kudapan favoritenya. Untuk sampai ke mimbar alam terbuka itu, dibutuhkan waktu 15 menit atau menempuh jarak sepanjang 800 meter dari Gapura Camp Dua.
Sesampainya di lokasi, sekitar 10 menit kemudian, kita dan wisatawan asing yang berasal dari Spanyol, Ukraina, Inggris dan Belanda pun, terkejut ketika ada Orang Utan dengan tinggi 1,5 meter, langsung meminum susu dan memakan pisang serta ubi jalar yang ada di mimbar tersebut. Pembawaannya pun tenang, bahkan sang Raja ini pun menunjukan perngai lucu, seperti memainkan makanan yang telah di kunyahnya, kemudian ditunjukan kepada para wisatawan yang telah menempati zona aman.
Yusuf, Tour Guide yang memandu selama tiga hari di kawasan hutan konservasi Seikonyer ini mengatakan, Orang Utan tersebut bernama “Doyok”, usianya 28 tahun, dia adalah Raja ke tiga di Camp Dua. Doyok mendpat predikat sang penguasa mimbar jamuan makan, setelah mengalahkan raja sebelumnya yang bernama Mesran.
Masih kata Yusuf, harus ada “pertarungan” terlebih dahulu, dan harus mengalahkan raja sebelumnya, ketika ingin menjadi raja di mimbar jamuan makan. Pertempuran ini berlaku, antara pejantan dengan pejantan. Setelah salah satu dari mereka ada yang menang, maka Orang Utan tersebutlah sebagai Raja baru di meja jamuan makan.
Raja yang kalah dalam laga tersebut pun dapat dipastikan tak akan menjamah area jamuan makan tersebut. Dia, akan kembali ke tengah hutan, dan memenuhi segala hajatnya tanpa harus ke meja jamuan makan. “Kadang kala ada Ranger yang bertemu dengan sang mantan raja, dia terlihat kurus, tidak seperti dulu. Hal ini dapat dimaklumi, asupan makanan ala raja sudah tak dapat dinikmati lagi,” ujar Yusuf.
Menurut Yusuf, Doyok telah menguasai mimbar jamuan baru tiga tahun. Raja terdahulunya, hampir menguasai kawasan tersebut hampir 15 tahun. “Biasanya, untuk mempertahankan mahkotanya, hingga umurnya 40 tahun. Tapi kalau fisiknya lemahnya, bisa dikudeta sama Orang Utan baru yang lebih kuat secara fisik,” tambah Yusuf.
Camp Leakey
Usai bertandang di Camp Pondok Tanggui, menjelang siang kita pun melanjutkan perjalanan ke Camp berikutnya, yaitu Camp Leakey. Dari Camp Pondok Tanggui ke Camp Leakey, membutuhkan waktu sekitar satu jam. Camp Leakey adalah, camp terakhir dan paling tua bagi kawanan Orang Utan di Kalimantan Tengah.
Ada satu hal yang menarik dalam perjalanan menuju Camp Leakey, air sungainya tampak hitam, namun begitu bening. Pohon besar dan semak-semak begitu tampak indah, bila dilihat dari air sungai. Pemandangan tersebut bagai cermin. Setelah kapal Kelotok menyentuh dermaga Camp Leakey, kami pun melanjutkan perjalanan kaki kembali ke mimbar jamuan makan sang raja. Raja Orang Utan di Camp Leakey bernama Tom. Usia Tom sedikit lebih tua dari Doyok. Tom telah berkuasa di Camp Leakey lebih dari 15 tahun. Dan, belum ada yang berani menggantikan Tom.
Hingga pukul empat sore, Tom pun belum menampakan diri di singgahsana. Mestinya tepat jam setengah empat sore, Tom ada di mimbar makan. Padahal, para tour guide lokal, telah berusaha memanggil dengan bahasa isyarat yang berlaku untuk mengundang sang Raja. Namun, nampaknya kami dan para wisatawan asing belum beruntung hari itu untuk bertemu dengan Tom. “Memang tidak setiap hari Raja Orang Utan, makan di tempat tersebut. Yang jelas, kita kali ini sedang tidak beruntung bertemu dengan Tom,” ujar Yusuf.
Setelah itu, kami pun menuju ke Dermaga, dan melanjutkan perjalanan kembali ke Pelabuhan Kumai, serta bermalam di Pangkalan Bun. Catatan dan jepretan kamera yang saya dapat, begitu membanggakan. Hal ini, menjadi pengalaman yang sangat berharga. Meski tabungan untuk berlibur selama tiga bulan ludes, saya pun tak merasa menyesal. Semua terbayar dengan keindahan panorama, dan segarnya udara dari hutan konservasi dunia. Apalagi, ketika sang “Raja” tersenyum, seolah mengisyaratkan kapan bisa kembali lagi. [fatoer/TWM]